Thumbnail

REFLEKSI PERAN PEREMPUAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN BIAS GENDER DI PMII

Dalam dinamika sosial isu kesetaraan gender masih menjadi topik yang belum sepenuhnya tuntas dibahas, masih banyak perdebatan yang mempermasalahkan adanya kesetaraan gender terlebih lagi perempuan yang selalu berada dalam posisi dilematis karena adanya bias gender yang masih terjadi di sekitar yang mumgkin disengaja maupun tidak disengaja. Pun Sebagian laki-laki yang menganggap kesetaraan gender tidaklah diperlukan karena merasa perempuan tidak sebanding dengan laki-laki dari kekuatan ataupun pemikiran. Pada praktiknya menurut Badan Pusat Statistik ( BPS ) Indonesia sebenarnya sudah mengalami peningkatan dalam indeks kesetaraan gender ( IKG ) nya yaitu berada pada angka 0,447 pada tahun 2023, menunjukkan perbaikan yang stabil dalam kesetaraan gender. Sedangkan skor kesenjangan gender global untuk Indonesia tahun 2024 adalah 0,69. Ini berarti Indonesia mencapai 69% kesetaraan gender. Indonesia berada di peringkat 100 dari 146 negara dalam pemeringkatan kesenjangan gender global. Meskipun begitu Indonesia masih ada di peringkat terendah kualitas hidup perempuannya di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Dr. H. M. Dimyati Huda, 2020). Pada realitanya bias gender ternyata masih sangat sering ditemukan di lingkungan sekitar. Bias gender sendiri merupakan pembagian posisi dan peran yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan (Setiyaningsih, 2015). Perempuan dengan sifat feminin dipandang selayaknya berperan di sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya berperan di sektor publik. Seperti kasus adanya perusahaan-perusahaan yang masih "menganak emaskan" kaum pria dan menutup peluang bagi kesetaraan perempuan dalam beberapa hal seperti profesi dan pendidikan. Organisasi kemahasiswaan tidak henti membahas isu kesetaraan gender yang ada di sekitar demi membela perempuan-perempuan yang merasa dirinya tidak mendapatkan keadilan bahkan seringkali diremehkan. Dapat dilihat pada beberapa profesi yang ada di Indonesia yang mana terdapat ketimpangan gender seperti pada beberapa pekerjaan seperti perawat dan Make Up Artist yang kebanyakan di ambil alih oleh perempuan dan dinilai hanya pantas dikerjakan oleh perempuan serta pekerjaan seperti kontruksi, ,militer dan, teknik yang dianggap hanya pantas di lakukan hanya untuk laki-laki saja. Contoh lain adalah adalah dalam organisasi, seorang aktivis perempuan dipandang kurang baik oleh masyarakat awam sementara aktivitis pria didukung dan dianggap suatu hal yang hebat, juga perempuan yang menjadi pemimpin dianggap kurang mampu dalam segala aspek mulai dari kekuatan ataupun pengambilan keputusan. Pandangan bahwa laki-laki lebih kuat, lebih perkasa, lebih berhak menduduki peran-peran penting telah mengkonstruk tatanan budaya yang lebih memihak laki-laki daripada perempuan. Namun, semakin hari, peran perempuan dalam meningkatkan kesadaran terhadap bias gender menunjukkan progres yang patut diapresiasi. Perempuan tidak lagi hanya tinggal diam dan menerima, tapi mampu melawan dan memperjuangkan hak nya, serta membuktikan kebisaannya dalam melakukan segala hal yang tadinya di gaungkan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Di tubuh PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), peran perempuan menjadi semakin signifikan, terutama dengan adanya KOPRI (Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Putri). KOPRI hadir bukan sekadar sebagai wadah representasi perempuan, tetapi sebagai ujung tombak dalam memperjuangkan kesadaran gender di tubuh organisasi. Perempuan-perempuan di PMII secara perlahan mulai merebut ruang yang selama ini cenderung didominasi oleh laki-laki. Mereka tidak hanya aktif dalam forum-forum keperempuanan, tetapi juga menunjukkan kapasitas kepemimpinan di ruang-ruang strategis organisasi. Tidak hanya itu, PMII sudah membuktikan bahwa gender bukan lah masalah untuk seseorang dapat berproses, selain adanya ruang khusus bagi perempuan untuk berkembang, disana perempuan yang mau bersuara diberikan apresiasi, pemimpin perempuan tidak dianggap remeh malah sangat diberikan dukungan. Meski perjalanan ini tidak mudah dan penuh dengan tantangan, perempuan-perempuan di PMII terus bergerak, membangun narasi perlawanan terhadap bias gender yang sistemik, baik secara internal maupun eksternal. Refleksi Bias Gender PMII KOPRI sebagai bagian integral dari PMII bukanlah entitas yang berdiri pasif. Sejak awal pendiriannya, KOPRI memiliki mandat yang kuat untuk menjadi motor penggerak kesadaran gender dalam tubuh PMII. KOPRI selalu memberikan ruang bebas bagi perempuan yang ada di PMII karena memang umumnya perempuan cenderung merasa kurang percaya diri dan kurang leluasa jika melakukan berbagai pergerakan didampingkan dengan laki-laki. KOPRI yang sadar akan hal itu menjadi penyelamat bagi perempuan-perempuan di PMII. Kiprahnya tidak hanya sekadar menjadi representasi perempuan, tetapi juga sebagai kekuatan ideologis dan strategis dalam mendorong organisasi yang lebih adil gender. Dalam praktiknya, KOPRI aktif menggelar pelatihan kaderisasi yang memuat perspektif gender, seperti sekolah islam gender serta tingkatannya, disana dijadikan ajang perdebatan mengenai kesetaraaan gender dan bias gender yang ada di sekitar, disini perempuan berhak bersuara mengenai apapun yang dirasa perlu disuarakan, dan laki-laki akan mendengarkan dan memberi klarifikasi atau bantahan sehingga masing-masing dapat mengetahui apa sebenarnya kesenjangan gender yang ada lalu seperti apa solusi yang dapat ditawarkan, untuk nantinya dapat diimplementasikan solusinya ke masyarakat, agar Indonesia menjadi lebih terbuka atas adanya bias gender di Indonesia. KOPRI juga menyusun modul-modul pelatihan yang mengedepankan nilai kesetaraan, serta membangun jaringan dengan organisasi perempuan di luar PMII. Dengan begitu perempuan-perempuan penggerak yang ada di Indonesia bisa lebih terhubung, mereka bersatu untuk menyuarakan hak perempuan, hak yang saat dulu sekali sudah di perjuangkan oleh perempuan-perempuan hebat yang ikonik di pimpin oleh RA Kartini. RA Kartini dengan pemikirannya berhasil memberikan kebebasan perempuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga dapat membuka wawasan perempuan tentang ketertindasan yang telah mereka alami selama ini, pada masa itu keadilan gender diwujudkan dengan berbagai gebrakan hebat yang sangat sedikit kemungkinan dilakukan oleh perempuan pada masa itu seperti mendirikan sekolah untuk Perempuan yang mana pada masa itu pendidikan dianggap tidak terlalu penting di kalangan perempuan, berkomunikasi dengan masyarakat Belanda, menentang poligami dan menentang adat kuno. Bahkan setelah R.A. Kartini wafat, ternyata perjuangannya dalam memperjuangkan pendidikan perempuan tidak berhenti, dengan diteruskan perjuangannya oleh para penerusnya yang telah terpengaruh oleh gagasan dan pemikirannya. Bahkan, Indonesia sendiri pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan yakni Megawati Sukarno Putri Membuktikan bahwa perjuangan R.A. Kartini dapat dilanjutkan oleh para penerusnya, bahkan hingga sekarang ini (Kusmiyati, 2023). Perjuangan yang dilakukan tentu saja tidak luput dari tantangan yang ada. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah bias struktural yang melekat dalam sistem kaderisasi maupun budaya organisasi. Meskipun dalam organisasi sendiri sudah menanamkan teori kesenjangan gender, implementasi yang ada tidaklah benar-benar tercapai sesuai dengan materi yang ada. Banyak perempuan yang merasa kurang diberi ruang atau tidak mendapat kesempatan yang sama untuk tampil di ruang-ruang strategis. Kadang bahkan dalam forum diskusi sekalipun, suara perempuan masih sering dipotong atau disepelekan. Kadang laki-laki yang melakukan bias gender dengan menyarankan perempuan tidak perlu ikut andil dalam kegiatan organisasi tertentu karena dianggap tidak mampu. Hal ini menunjukkan bahwa bias gender tidak selalu bersifat eksplisit, tetapi bisa hadir dalam bentuk yang halus dan terselubung, seperti ekspektasi peran domestik, atau bahkan pengabaian terhadap isu-isu yang dianggap "hanya urusan perempuan". Selain itu, tantangan juga muncul dari dalam diri perempuan itu sendiri. Ini menjadi tantangan yang cukup signifikan karena memang perempuan memiliki perasaaan dan emosional yang cukup kuat yang bahkan belum tentu bisa di atasi oleh bahkan teman perempuan lain. Perempuan yang terlalu menganggap rendah dirinya dan takut untuk bersuara di dalam sebuah organisasi sehingga menghambat proses sudah cukup menjadi tantangan yang sulit bagi KOPRI sendiri dalam menyelesaikannya. Bisa jadi karena trauma atau pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi sehingga seorang perempuan takut membuka diri. Internalisasi budaya patriarki yan sering membuat perempuan merasa tidak cukup layak atau takut untuk berbicara di depan umum, juga menjadi salah satu alasan perempuan menutup diri, hingga tidak jarang akhirnya menelan harapannya mentah-mentah untuk menggapai cita-citanya hanya karena takut untuk bersuara, dan berproses bersama sama. Inilah mengapa penting untuk terus memperkuat kaderisasi yang tidak hanya fokus pada kuantitas, tetapi juga pada kualitas pemahaman dan keberanian kader perempuan. Dalam hal ini, KOPRI memiliki peran vital sebagai ruang aman bagi perempuan untuk tumbuh dan berkembang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Di era sekarang, tantangan bias gender juga berkembang seiring perkembangan teknologi dan informasi. Media sosial, misalnya, bisa menjadi ruang pemberdayaan, tapi juga tempat reproduksi stigma dan kekerasan berbasis gender. Tanpa disadari media sosial menjadi salah satu tempat yang sangat banyak terjadi bias gender. Media sosial membebaskan pengguna nya berekspresi tanpa terbatas ruang dan waktu, disana orang berlomba lomba untuk menjadi popular dan mendapatkan keuntungan, segala cara dilakukan untuk menjadi viral hingga akhirnya melakukan diskriminasi antar gender dengan menyebarkan spekulasi-spekulasi yang membuat standar tersendiri bagi perempuan yang ada. Dari sana juga banyak perempuan yang dengan menontonnya menjadi menutup diri karena merasa tidak sesuai dengan standar yang ada. PMII dan KOPRI harus bisa adaptif dan progresif dalam menjawab tantangan ini. Artinya, gerakan kesadaran gender tidak bisa lagi hanya berfokus pada diskursus internal organisasi, tetapi harus mulai menjangkau ruang-ruang publik yang lebih luas, membangun kolaborasi lintas isu dan memperkuat posisi perempuan dalam masyarakat secara umum. Beberapa langkah strategis sudah mulai dilakukan: pelibatan kader perempuan dalam penyusunan kebijakan internal organisasi, afirmasi dalam struktur kepemimpinan, serta penyediaan ruang diskusi dan edukasi yang berperspektif gender. Selain itu Pendidikan islam juga mimiliki potensi besar untuk menghilangkan diskriminasi gender. Islam mengajarkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, tanpa memandang pria maupun wanita. Al-Qur'an menegaskan pentingnya pendidikan sebagai jalan untuk mencapai pengetahuan dan kebijaksanaan, seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Mujadila ayat 11. Dukungan Islam terhadap pendidikan yang setara juga tercermin dalam program-program pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan Islam. Program ini tidak hanya meningkatkan akses pendidikan bagi perempuan, tetapi juga memperkuat peran mereka dalam komunitas dan membantu menghilangkan stigma negatif yang sering kali melekat pada perempuan di masyarakat (Siregar, 2025). PMII sendiri termasuk KOPRI senantiasa melakukan kajian secara rutin yang membahas kesetaraan gender serta edukasi bagaimana pendidikan islam mampu menuntun individu sadar bahwasanya kesetaraan gender di islam adalah hal yang diindahkan, dalam artian perempuan dan laki-laki adalah sama dan memiliki peluang yang sama untuk mencapai tujuannya masing-masing. Namun semua itu perlu dilandasi dengan evaluasi kritis dan kesadaran bahwa perjuangan ini tidak bisa berhenti pada simbol-simbol formalitas. Yang dibutuhkan adalah transformasi nilai-nilai yang membangun budaya organisasi yang benar-benar inklusif dan berkeadilan. Melalui refleksi panjang tentang peran perempuan dalam menghadapi tantangan bias gender di tubuh PMII, dapat disimpulkan bahwa perjuangan kesetaraan gender masih perlu di renungkan, baik secara struktural maupun kultural. Meskipun data menunjukkan adanya peningkatan dalam indeks kesetaraan gender di Indonesia, realitas sosial belum sepenuhnya berpihak pada perempuan. Berbagai bentuk bias, baik yang tersurat maupun yang tersirat, masih menjadi tembok besar yang harus diruntuhkan bersama. Perempuan-perempuan PMII, khususnya melalui KOPRI, telah membuktikan bahwa mereka mampu melampaui batas-batas yang selama ini dikonstruksi oleh masyarakat patriarkal. Mereka tidak hanya menjadi simbol kehadiran perempuan dalam organisasi, tetapi telah menjadi pelopor gerakan pemikiran kritis yang membongkar ketimpangan gender yang ada. Namun demikian, perjuangan ini belum selesai. Masih ada tantangan dari luar dan dalam: mulai dari stereotip sosial, laki-laki yang masih mendominasi, hingga keraguan yang tumbuh dalam diri perempuan itu sendiri akibat tekanan sosial yang berulang. Oleh karena itu, upaya konkret seperti penguatan kaderisasi perempuan, penciptaan ruang aman dan setara, serta pelibatan aktif perempuan dalam pengambilan keputusan organisasi perlu terus diperkuat. Ditambah dengan pendekatan edukatif berbasis nilai-nilai Islam yang mengajarkan keadilan, kesetaraan, dan kewajiban menuntut ilmu bagi semua, PMII dan KOPRI punya landasan kuat untuk terus memperjuangkan nilai-nilai tersebut. Perempuan tidak hanya membutuhkan pengakuan bahwa kesetaraan itu ada, tapi refleksi yang nyata, system yang bisa menjamin Perempuan dapat tumbuh dan berproses dengan bebas tanpa rasa takut dikucilkan dan mendapat sikap apatis dari orang lain. Maka perjuangan perempuan dalam tubuh PMII harus terus dirawat, bukan hanya untuk perempuan itu sendiri, tapi untuk masa depan organisasi yang lebih adil dan berperikemanusiaan.