Bukan Socrates bukan pula Aristoteles, pencetus pertama demokrasi adalah Cleisthenes, umumnya kita mengenal demokrasi dengan konsep dari Abraham Lincoln yakni "dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat", tapi terkadang pada implementasi nya kita hanya merasakan konsep tersebut dalam momentum pemilu atau pilkada saja, setelah pemilu urusannya para elite dan rakyat tak lain hanya pemuas nafsu penguasa saja.
Dalam pelaksanaan demokrasi kita kenal dengan prinsip demokrasi, istilah prinsip demokrasi terkadang hanya urusan formalitas saja agar negara terlihat demokratis, seperti apa yang digagas Mountesquieu dalam teori trias politika nya, legislatif sebagai penguasa pembuat undang-undang, eksekutif yang memiliki kekuasaan dalam pelaksanaan undang-undang dan yudikatif sebagai pengadil dan pemantau pelaksanaan undang-undang.
Indonesia memiliki tiga instrumen yang dikatakan dalam teori nya Mountesquieu, legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) eksekutif adalah presiden dan yudikatif adalah Mahkamah Konstitusi (MK), tiga lembaga ini harus independen dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun.
Jika kita mengingat kembali ingatan kita kebelakang, lembaga yudikatif di Indonesia jika diibaratkan manusia, dia orang yang sudah diperkosa, diperkosa oleh lembaga eksekutif, dengan mudah nya MK memutuskan calon syarat wakil presiden, sehingga anak kandung dari Jokowi sebagai pemegang lembaga eksekutif diberi karpet merah untuk maju sebagai calon wakil presiden, apalagi ketua dari MK adalah seorang ipar dari Jokowi, tentu hal ini akan menimbulkan konflik of interest, dan akan memperpanjang kekuasaan Jokowi melalui anaknya.
Legislatif selain sebagai pembuat undang-undang, DPR mempunyai tugas memantau dan mengawasi kinerja negara yang dilaksanakan oleh eksekutif, tetapi legislatif yang seluruhnya fraksi partai dan eksekutif juga orang dari partai, akhirnya terjadi kompromis, antara legislatif dan eksekutif, lebih buruknya, legislatif bukannya mengawasi eksekutif tapi legislatif lebih condong mendukung semua kebijakan eksekutif.
Apalagi Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) yang seharusnya direalisasikan malah mandek seperti UU Perampasan Aset atau UU Masyarakat Adat yang sampai sekarang tidak ada progres.
Setelah lembaga yang seharusnya penjaga demokrasi tadi sudah hilang peran dalam menjaga demokrasi, apakah partai menjadi jalan alternatif dalam menjaga demokrasi bangsa kita? Seharusnya memang partai adalah alternatif, akan tetapi kita bisa lihat sendiri bahwa legislatif dan eksekutif adalah orang partai juga, artinya partai sebagai penjaga demokrasi sangat tidak representatif.
Lantas, setelah semua lembaga yang identik dengan prinsip demokrasi dan partai yang seharusnya menjadi jalan alternatif menjaga demokrasi sudah tidak menjaga nilai-nilai demokrasi, harus kita percayakan kemana dalam urusan menjaga demokrasi ini?
Dalam buku Kolom Demi Kolom yang isinya adalah opini Sang Pendekar Pena (Mahbub Djunaedi) semasa ia aktif menulis di Kompas, ia menulis, bahwa kekuatan negara selain dari Trias Politika ada pers sebagai kekuatan ke empat negara, jika semuanya mulai dari eksekutif, legislatif yudikatif dan partai sekalipun saling kompromis hanya akan melahirkan demokrasi semu.
Bisa kita lihat bagaimana media pers melakukan transfer informasi kepada masyarakat, yang mungkin saja kita lebih sering dapat informasi dari pers ketimbang wakil kita di istana itu. Pers juga sangat aktif dalam kritik terhadap pemerintah, media seperti Tempo, Project Multatuli, The Jakarta Post atau bahkan Kontras yang begitu aktif dalam kritik pemerintah dan mengawasi peran pemerintah, ketimbang DPR. Peran pers sungguh besar dalam menjaga demokrasi, maka memang cocok bahwa pers itu disebut oleh Mahbub Djunaedi sebagai kekuatan ke 4 dalam negara setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif yang bobrok.
Jadi urusan menjaga demokrasi yang ideal adalah pers yang independen, tetapi pada prinsip nya semua harus saling menjaga demokrasi sekalipun rakyat yang tidak berada dalam eksekutif, legislatif, yudikatif, partai ataupun pers.