Thumbnail

Membongkar Dogmatisme Aswaja Dalam PMII!

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) bukan sekadar fondasi teologis dalam tubuh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tetapi juga menjadi ruh yang menjiwai setiap gerak langkah organisasi ini. Menurut Nilai Dasar Pergerakan (NDP), Aswaja bukan hanya sistem kepercayaan, melainkan cara berpikir dan bertindak dalam memahami Tauhid serta mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sejarahnya, Aswaja kerap mengalami berbagai dinamika pemikiran. Salah satu momen penting terjadi pada tahun 1994, ketika KH Said Aqil Siraj mengajukan gagasan kritis terhadap pemahaman Aswaja yang selama ini dianggap sebagai sebuah mazhab. Padahal, dalam realitasnya, Aswaja menaungi berbagai mazhab, terutama dalam bidang fikih. Gugatan ini memicu perdebatan dan menuntut respons yang tidak hanya cepat tetapi juga kontekstual. (halmahera21, 2009) Dari diskursus inilah lahir pemahaman baru. Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr suatu metode berpikir yang dinamis, adaptif, dan relevan dengan perubahan zaman. Gagasan ini menegaskan bahwa Aswaja bukan sekadar kumpulan doktrin, tetapi juga kerangka berpikir yang mendorong pemeluknya untuk selalu mengambil jalan tengah (tawassuth), berimbang (tawazun), toleran (tasamuh), dan teguh dalam prinsip (i'tidal) Dalam konteks PMII, Aswaja tidak hanya menjadi identitas keagamaan, tetapi juga strategi intelektual dalam menghadapi tantangan sosial, politik, dan budaya. Dengan menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr, PMII tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai Islam tetap kontekstual dan solutif bagi zaman yang terus berubah. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), menjadikannya sebagai cucu ideologis dari organisasi yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari. Sebagai bagian dari tradisi keilmuan NU, PMII menjadikan Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) sebagai inti pergerakan, bukan sekadar dogma, tetapi sebagai paradigma berpikir (manhaj al-fikr) dan strategi bertindak (manhaj alharakah). Dalam perjalanannya, PMII menolak sikap jumud, kaku, dan stagnan dalam memahami realitas sosial. Bagi PMII, Aswaja bukan sekadar warisan yang harus dipertahankan tanpa kritik, tetapi juga pedoman yang harus selalu relevan dengan perkembangan zaman. Prinsip ini sejalan dengan kaidah ushul fikih NU yang berbunyi: "Al-Muhafadzah ‘ala al-Qadimi as-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah", yang berarti "Menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.". (PMII BANDUNG, 2007) PMII tidak hanya bertugas melestarikan nilai-nilai yang telah ada, tetapi juga terus mencari formulasi yang lebih baik dalam memahami dan menjawab tantangan masyarakat. Dengan sikap kritis dan progresif, PMII menegaskan bahwa Islam harus menjadi solusi, bukan sekadar nostalgia terhadap masa lalu. Aswaja dalam PMII bukan hanya identitas, tetapi juga semangat perubahan sebuah pijakan untuk terus bergerak maju tanpa kehilangan akar tradisi. Dengan pendekatan ini, PMII berkomitmen untuk menjadi garda terdepan dalam mengawal nilai-nilai Islam yang dinamis, moderat, dan selalu kontekstual bagi generasi yang terus berkembang. Selama ini, Aswaja sering dipandang hanya sebagai dogma yang diwariskan turun-temurun tanpa ruang untuk reinterpretasi. Pandangan ini justru membatasi Islam sebagai agama yang sejatinya sempurna untuk segala zaman dan tempat. Islam tidak hadir hanya untuk satu era atau satu kelompok masyarakat tertentu, melainkan sebagai sistem nilai yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Namun, fleksibilitas ini hanya mungkin jika para pemeluknya memahami Islam sebagai sesuatu yang hidup, bukan sekadar teks yang dibaca tanpa konteks. Di sinilah PMII menegaskan bahwa Aswaja bukan hanya warisan, tetapi pilihan terbaik dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern, terutama dalam konteks Indonesia yang penuh dengan keberagaman etnis, budaya, dan agama. Aswaja yang dipahami sebagai metode berpikir (manhaj al-fikr) memungkinkan adanya ruang kreatif bagi umat Islam untuk merumuskan solusi atas persoalan sosial, politik, dan ekonomi tanpa harus kehilangan akar tradisi. (halmahera21, 2009) Tantangan besar bagi generasi muda Islam, terutama kader PMII, adalah bagaimana mempertahankan relevansi Islam tanpa terjebak dalam ekstremisme baik dalam bentuk konservatisme yang anti-perubahan maupun liberalisme yang tercerabut dari akar tradisi. PMII mengambil posisi tegas di tengah, menjadikan Aswaja sebagai jalan moderasi yang tidak hanya menjaga keislaman tetapi juga keberagaman Indonesia. Dengan pendekatan ini, PMII tidak hanya merawat tradisi, tetapi juga menantang status quo yang menjadikan Islam sebagai dogma statis. Aswaja yang diperjuangkan PMII bukanlah sekadar identitas, melainkan metodologi dinamis yang memastikan bahwa Islam tetap hidup, relevan, dan terus menjadi solusi bagi setiap generasi. Refrensi : lmahera21, 2. (2009, Juli 6). ASWAJA Sebagai Manhajul Fikr wal Harokah. PMII FISIP UNEJ, hal. 1. PMII BANDUNG, 2. (2007, juli 6). ASWAJA. PMII Cabang Kab Bandung, hal. 1. Profil singkat Penulis : Muh Adam Arrofiu Arfah merupakan mahasiswa ilmu hukum universitas Nahdlatul ulama Indonesia (Unusia) dan salah satu kader PMII Unusia cabang kabupaten Bogor, ia juga merupakan demisioner Sekretaris Umum Rayon Fajrul Falakh PK PMII Unusia Kab Bogor 2023-2024.